Dialektika Sunyi
“Apakah kalian tahu kalau kita sedang melawan Ketua Besar?”
“Tahu!”
“Tahukah Anda kalau lawan yang ini sangat-sangatlah kuat?”
“Jangan menyerah, Ketua!”
“Saya tak ingin mengorbankan kalian semua…”
“Berjuang bersama, kalah-menang bersama! Bersama kita bisa!”
“Apa alasan kalian melawan Ketua Besar?”
“Persis seperti alasan Pak Ketua!”
“Beliau memegang kasus saya, tapi saya pun memegang kasus beliau. Kawan di partai lain juga memegang kasus beliau. Saya soal di panitia pemilu kemaren, yg lain soal Century. Kalau masalah pajak-pajak itu hanya serpihan saja.”
“Terus Ketua mau dibersihkan?”
“Masak kita tolak kalau orang mau membersihkan kita?”
“Maksudnya dipecat, Pak Ketua …”
“Bagaimana caranya?”
“Ketua mau dijadikan tersangka oleh KPK..”
“Lho, apa kalian berpendapat kalau KPK bisa disetir oleh beliau?”
“Itu kenyataannya, Pak Ketua…”
“Jangan suudzon, tak ada bukti untuk itu.”
“Lalu bagaimana kita melawan ini, Ketua?”
“Revolusi sunyi.”
“Apa itu ketua?”
“Begini…”
Lalu kemudian sunyi. Hanya selembar Kata Pengantar dari buku
Revolusi Sunyi; Mengapa Partai Demokrat dan SBY Menang Pemilu 2009? yang diam-diam berbisik soal ini. Begini kutipannya.
Lalu sunyi lagi. (*)
Kata Pengantar
Kemenangan dan kekalahan dalam sebuah kompetisi adalah hal lumrah. Pun dalam konteks kompetisi politik. Bagai sebuah ungkapan klasik tentang sebuah petualangan: Tidaklah terlalu indah ketika sudah sampai ke pulau harapan, namun keelokan tertinggi justru ada pada proses petualangan itu sendiri! Selebrasi kemenangan dan duka kekalahan bukanlah akhir segalanya, namun yang paling penting adalah proses persiapan diri untuk menghadapi, menempuh perjalanan panjang dan kesabaran meniti tangga serta melampaui berbagai rintangan terjal di sepanjang perjalanan!
Penghargaan kepada proses itulah yang belakangan terus memudar. Semuanya ingin serba instant dan cepat. Karenanya pengerahan langkah, pengucuran sumber daya dan berbagai putusan lainnya dalam upaya memenuhi hasrat politik, tak jarang penuh dengan kegaduhan.
Buku di tangan pembaca budiman adalah salah satu upaya untuk menghargai sebuah proses politik. Bagi pembaca yang memposisikan diri sebagai “kompetitor” politik, tentu judul buku ini tampak apologetik. Namun bagi mereka yang masih menyimpan tanya, lalu berkehendak untuk berdiskusi, buku ini bisa menjadi teman diskusi. Pertanyaannya sederhana: Mengapa suara Partai Demokrat terus melejit dan mampu duduk di posisi pertama di arena pertarungan politik? Mengapa pula SBY mampu tampil menjadi tokoh alternatif dan mampu bertahan di pertarungan politik episode kedua?
Bagaimanapun kemunculan SBY dan Partai Demokrat, bagi saya adalah merupakan bagian penting dalam mematrakan keniscayaan demokrasi di Indonesia. Ia tidak hanya berkontribusi pada pendewasaan sikap politik rakyat Indonesia, namun sekaligus bereksperimen memadukan antara keterbukaan dan kebebasan politik dengan gerak maju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Dan satu hal lagi, pilihan kepada SBY, dalam banyak analisis mengenai perilaku pemilih dalam pemilu, memasukkan unsur etika dan moral politik sebagai salah satu alasan pilihan.
Penentuan pilihan politik rakyat kepada SBY dan beralihnya pilihan politik massa kepada Partai Demokrat, sehingga keduanya mampu memenangkan kompetisi politik di Pemilu 2009 lalu, adalah satu hal yang penting direnungkan. Cukup banyak bertebaran ide dan pelajaran berharga, tidak hanya berkenaan dengan seni berpolitik, namun juga berhubungan kuat dengan kalkulasi penentuan masa depan bangsa. Unsur-unsur ini, dalam temuan dan renungan saya, sebagaimana terpapar dan terurai di setiap alinea dan bab-bab buku ini, tidak hanya menjadi kunci sukses dalam meraih kemenangan politik, namun ada unsur-unsur dan nilai-nilai universal yang merupakan prinsip pokok dalam berpolitik. Unsur-unsur itu telah teruji pada dua kali pemilu: menjadi success kemenangan politik.
Catatan mahapening lainnya adalah bahwa semua itu berlangsung secara diam-diam, bergerak maju dan cepat tanpa harus melahirkan kegaduhan. Sungguh fenomena SBY dan Partai Demokrat mencerminkan sebuah keadaan: Terlah terjadi sebuah revolusi sunyi!
Pada kesempatan ini saya bermaksud menyampaikan terima kasih kepada Bapak SBY yang banyak mengajarkan nilai dan karakter politik bersih, cerdas dan santun. Juga menekankan pentingnya ikhtiar politik dan kepercayaan kepada garis sejarah: garis yang tidak terlepas dari skenario Tuhan.
Terima kasih juga ingin saya sampaikan kepada semua Pengurus DPP PD yang dikomandani Bapak Hadi Utomo, jajaran DPD, DPC, Tim Sukses Pilpres 2004 dan 2009 serta sederet nama-nama lain yang tidak bisa disebutkan disini. Sebuah ucapan terima kasih yang sangat dalam juga penulis haturkan kepada keluarga penulis yang telah mendukung dengan sepenuh hati setiap aktivitas penulis. Untuk itu, terima kasih kepada istri penulis, Athiyyah Laila dan anak-anak kami, Akmal Naseery, Aqeela Nawal Fathia, Aqeel Najih Enayat, dan Aisara Najma Waleefa.
Atas terbitnya buku ini, penulis turut berterima kasih kepada M. Deden Ridwan, CEO Hikmah Publishing dan Managing Director Lini Indonesia: Creative Communication Strategy yang bersedia menjadi creative partner bagi penulisan dan penerbitan buku ini.
Semoga buku sederhana ini menghadirkan hikmah dan pelajaran, sekecil apa pun itu. Bagi yang mau membaca “realitas” dengan baik dan “merdeka”, rasanya hikmah dan pelajaran politik akan bisa dipetik.
Jakarta, 15 Mei 2010
Anas Urbaningrum
Komentar
Posting Komentar