Pemuda itu berlari membelah guyuran hujan yang membasahi bumi
Bajunya basah kuyub, nafasnya tersenggal-senggal lelah, akhirnya ia berteduh di bawah atap bangunan yang kian tak berbentuk
Ia merindukan suasana kerumunan pasar, melihat para pedagang menawarkan dagangannya,
Ia merindukan suasana pasar, rindu mendengar suara nego si pembeli menawar barang dagangan pasar.
Kenapa harus enggan berbelanja di pasar tradisional? Kulihat si penjual yang tulus menjual dagangannya hanya untuk sekedar bertahan hidup untuk makan, biaya hidup untuk sekolah anaknya, biaya hidup untuk kesehatan keluarganya. Meraup keuntungan hanya sekedar harga (lebel) namun bisa turun setelah ada tawar menawar, apakah ada transaksi setulus pasar yang menghidangkan perbincangan antar pedagang dengan pembelinya ?
Berbeda dengan sebelah, nampak bersih ruangannya, dingin berAC tempatnya, rapi karyawannya, canggih fasilitasnya, dan tampah mewah dagangan yang dijualnya tersusun rapi di rak rak barang dengan gagahnya, namun entah adakah terdengar suara tawar menawar harga disana ? Entahlah !
Apakah Pasar modern lebih menjanjikan kualitasnya ataukah pasar tradisional yang enggan me modern kan dirinya.
Hujan tak kunjung reda, bosan kian melanda dan pemuda itu memilih duduk di atas kursi bambu yang mulai rapuh oleh waktu, dan memesan secangkir kopi dengan berharap kopi dan rokok bisa menghiburnya dari sepi
.........................
Kopi Pasar, memang lebih menjanjikan suasana guyub.
Di: Pasar Ki Lemah Duwur, Bangkalan
Bangkalan, 8 Februaro 2020
By: Penaku (makmun_halayudha)
#Jurnal_JejakLangkah
#Pena_ku
#Halayudha
#PasarModerndanTradisional
Komentar
Posting Komentar